Cerdas Mengelola Keuangan Keluarga

Banyak pasangan yang mau menikah, berani membahas ini itu, namun ternyata paling segan untuk membahas ini itu namun ternyata paling segan untuk membicarakan persiapan keuangan. Padahal penting dan harus sekali membicarakan tentang penghasilan, rencana cashflow serta pengelolaan keuangan keluarga sebelum menikah. Tak usah terlalu kaku bila berkaitan dengan kata ‘uang’. Bicarakanlah dengan perspektif dan santai.

Uang itu hanya alat. Jadi tidak bisa mendefinisikan siapa kita. Maka, beranikanlah membicarakan tentang keuangan sebelum menikah. Persiapkan baik-baik, bicarakan baik-baik dan buat komitmen sebelumnya. Sebelum menikah, samakan visi juga dengan pasangan tentang keuangan, visi yang berorientasikan Allah. Visi yang mencukupkan diri untuk ikhtiar, untuk gemar mengusahakan harta-harta yang halal di jalan yang Allah ridhai.

Harus sama-sama mengetahui bagaimana posisi masing-masing pihak, bagaimana pembagian peran dalam pengelolaan keuangan. Bila sebelum menikah saja terkesan malu untuk membicarakan tentang hal keuangan; hati-hati justru itu bisa menjadi masalah utama setelah menikah nanti.  Belajar dari sekarang, karena ilmu tentang financial itu tidak diajarkan di SD, SMP, SMA, bahkan saat kuliah. Maka kita yang harus berikhtiar untuk menggali ilmunya. Belajar merencanakan, mengatur, serta belajar mengelolanya sebelum menikah, akan sangat membantu pengelolaan keuangan keluarga yang baik setelah menikah.

Setelah menikah terutama, harus saling mengingatkan  antar pasangan; cek dan ricek cashflow keuangan bersama-sama. Sudah ‘halal’ kah sumber penghasilan yang masuk? Digunakan untuk yang ‘halal’kah keuangan yang keluar? Itu harus! Bila halal haram saja tidak dipedulikan, bagaimana berkah Allah akan meliputi kehidupan pernikahan? Pastikan konsep harta yang halal telah menjadi visi sejak awal; jika lupa pada Allah sejak awal, bagaimana ke depannya akan tahan menghadapi ujian?

Saat ada harta yang haram masuk ke rumah tangga, saat itu pula kita telah menghalangi berkah Allah memasuki rumah tangga kita. Harta itu adalah anugerah yang harus disyukuri; amanah yang harus dipertanggungjawabkan; ujian yang harus diantisipasi. Harta juga adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai; bekal dan sarana ibadah untuk mencapai kebahagiaan, maka pastikan cashflow nya halal ya??

Ada 3 mitos yang salah tentang keuangan dalam pernikahan dan keluarga, dimana mitos ini justru banyak yang menjerumuskan.
  • Mitos pertama, “Uang tak perlu dibicarakan”, kalau menganut mitos ini siap-siaplah untuk menerima turbulensi hebat dalam pernikahan hanya karena keuangan.
  • Mitos Kedua, “Paham mengatur keuangan itu otomatis”, nah yang menganut mitos ini salah lagi. Semua itu ada ilmunya, ada prosesnya, dan tidak pernah ada yang instan. Untuk itu, belajarlah dari sekarang.
  • Mitos ketiga,”Merencanakan keuangan bisa ditunda”, mau sampai kapan ditundanya? Makin ditunda akan semakin banyak alasan untuk menundanya. Ayo mulai dari sekarang..
Menurut Teh Febi, salah seorang pakar keuangan dalam pernikahan, salah satu Financially Ready ‘Dasar’ bagi yang akan menikah itu ada tiga, di antaranya sebagai berikut :

Pertama, harus siap bicara tentang Uang dengan Sehat. Jadi, mulai gali ilmu tentang keuangan keluarga, agar pandai untuk mengomunikasikannya bersama pasangan.

Kedua, siap keuangan untuk menikah. Dalam arti harus punya perencanaan dari mana pemasukan keuangan setelah menikah, dll; agar ikhtiarnya spesifik.

Ketiga, siap merencanakan keuangan. Harus paham ilmunya, bagaimana mengelola keuangan dengan baik, dll.

Biasanya ada tiga titik kritis keuangan Pra Nikah,
  1. Biaya perikahan
  2. Biaya tahun pertama pernikahan
  3. Biaya persiapan buah hati

Nah, yang bisa menyebabkan banyak pasangan mengalami titik kritis keuangan, yaitu antara tidak siap, tidak disiapkan, atau tidak menyadari. Ada tiga kemampuan praktis yang harus dimiliki “Calon Pasangan” kita sebelum menikah, coba cek karakternya ya..

Satu, memiliki Indikator Kecerdasan Financial (IKF) dalam mengatur keuangan; yaitu penghasilan dibagi pengeluaran harus lebih dari ‘satu’. Jadi, jumlah penghasilan alias pemasukan keuangan nilainya harus lebih besar dibanding pengeluarannya.

Dua, hidup dibawah kemampuan financial kita alias kebersahajaan, bertahan dalam kesederhanaan. Maksudnya, bila sedang dalam posisi ‘berlebih’ pemasukannya harus bisa tetap bertahan ‘sederhana’, tidak menjadi boros atau menggunakan uang untuk yang tidak perlu. Kalau ‘sederhana’ sedang dalam masa sulit itu memang harus alias terpaksa, namun bertahan sederhana disaat posisi ‘berlebih’ itu yang menawan.

Tiga, mengubah posisi ‘tabungan’ bukan menjadi sisa, namun diposisikan sebelum adanya pengeluaran. Bila biasanya pendapatan dikurangi pengeluaran sama dengan tabungan, ubah menjadi pendapatan dikurangi tabungan menjadi pengeluaran. Jadi biasakan saat mendapat ‘pemasukan’ alokasikan dulu untuk sedekah, investasi leher ke atas, simpanan, dll, barulah sisanya untuk kebutuhan pengeluaran. Prinsip yang harus juga diterapkan adalah tentang pembagian peran keuangan dalam keluarga, harus komitmen dari sekarang sebelum menikah. Bahwa bagaimana pun, yang berkewajiban ‘menafkahi’  keluarga adalah seorang suami. Adapun bila isteri memiliki penghasilan, itu sepenuhnya hak istri.

Namun, seorang istri juga berkewajiban untuk melaporkan pengelolaan keuangan keluarga tersebut, agar prinsip bagi perannya harmonis. Bila seorang istri bekerja dan mempunyai penghasilan, suami harus memastikan bahwa memang pekerjaan istri juga halal, agar berkah. Bila ternyata penghasilan istri jauh lebih besar dari suami, komitmen kan bahwa biaya untuk menafkahi kehidupan rumah tangga tetaplah dari penghasilan suami. Gunakan kelebihan penghasilan yang dimiliki istri untuk keperluan lain yang bermanfaat, missal amal sedekah, simpanan, investasi anak, dll. Meski penghasilan istri lebih besar, tidak boleh menjadikan seorang istri ‘jumawa’, pemimpin di keluarga tetaplah suaminya, harus dihormati dan dihargai. Justru tugas seorang istri adalah memacu semangat suami agar ikhtiar mencari penghasilan yang ‘lebih’ melalui supportnya, cintanya, terutama doa-doanya. Janganlah masalah penghasilan menjadikan pertengkaran, membuat seorang istri merendahkan suaminya, atau sebaliknya. Keselarasan keduanya untuk saling mendoakan, saling menghargai peran dan posisi masing-masing, saling support, itu yang akan menambah kesejahteraan dan keberkahan.

Kekokohan pernikahan tidak ditentukan dari siapa pihak yang paling kuat, namun kedua pihak yang saling menguatkan dalam menghadapi segala ujian. Jadi saat akan menikah, yang dipikirkan jangan hanya bahagianya saja, tapi yang disiapkan adalah proses belajarnya, termasuk tangis dan air mata. Belum dari aspek-aspek lainnya; masalah keuangan seringkali menjadi masalah utama pemicu timbulnya konflik pasca nikah. Hati-hati dan persiapkan dari sekarang ilmunya ya… :’)

Sumber : @fufuelmart

1 comment:

  1. Ketika ingin berencana menikah, apakah boleh terucap "saya ingin menabung dulu sampai mampu, baru akan menikah" ? Terimakasih, Salam Mitra Rencana Edukasi

    ReplyDelete